 |
Harry, sang tokoh utama. |
PROLOG
Tembusan kepada: no. 1. Tembusan 2.
Tindakan: W.O.O.C.(P).
Asal: Kabinet.
Otoritas: PH6.
Catatan: Mohon persiapkan hasil Berkas M/1993/GH
222223 untuk Sekretaris Parlemen Menteri Pertahanan
MEREKA datang melalui jalur (sepenuhnya terbuka) langsung
sekitar pukul setengah tiga siang itu. Pak Menteri tidak cukup memahami
beberapa aspek dalam hasil dari berkas tersebut. Barangkali aku dapat bertemu
dengan Pak Menteri.
Barangkali.
Kediaman Pak Menteri menghadap Alun-Alun Trafalgar
dan dibangun layaknya Oliver Messel melakukannya untuk Oscar Wilde. Beliau
duduk di Sheraton, aku duduk di Hepplewhite dan kami saling mengintip satu sama
lain melalui tumbuhan aspidistra.
“Ceritakan padaku tentang keseluruhan cerita ini
dengan kata-katamu sendiri, Teman Lama. Rokok?”
Aku ingin tahu kata-kata siapa yang mungkin
kugunakan saat beliau menyibak daun aspidistra itu dengan kotak rokok tipis
warna emas miliknya. Aku mengalahkan beliau dengan sekotak rokok Gauloises yang
kusut; aku tidak tahu bagaimana memulainya.
“Aku tidak tahu dari mana harus memulai,” kataku.
“Dokumen pertama dalam berkas itu…”
Pak Menteri melambaikan tangan kepadaku. “Lupakan
berkas itu, teman lamaku, ceritakan padaku menurut versimu sendiri. Mulai saja
dengan pertemuan pertamamu dengan orang ini…” beliau melihat di buku kecil
Maroko miliknya, “Jay. Ceritakan padaku tentang dia.”
“Jay. Nama kodenya berubah menjadi Kotak Empat,”
kataku.
“Itu sangat membingungkan,” kata Pak Menteri, dan
beliau menulisnya dalam bukunya.
“Cerita ini memang sangat membingungkan,” aku
menuturkan kepada beliau. “Aku berada dalam bisnis yang membingungkan.”
Pak Menteri berkata, “Cukup,” berulangkali, dan aku
meletakkan seperempat inci abu rokok dalam asbak Kashan warna biru.
“Aku tengah berada di kediaman Lederer sekitar pukul
satu dinihari saat pertama kali aku melihat Jay.” kataku meneruskan cerita.
“Kediaman Lederer?” kata Pak Menteri. “Apa itu?”
“Akan sangat sulit bagiku jika aku harus menjawab
pertanyaan saat aku meneruskan cerita,” kataku. “Jika itu sama saja bagi anda,
Pak Menteri, aku lebih suka jika anda mencatat semua pertanyaan anda dan
menanyakannya setelah ini semua selesai.”
“Teman lamaku, tidak ada kata lagi, aku berjanji.”
Dan selama penjelasan lengkap yang kuutarakan,
beliau tidak pernah bertanya lagi.
BAB
1
[Aquarius (20 Januari –
19 Februari) Hari yang sulit. Kau akan menghadapi masalah yang bervariasi. Bertemu
teman-teman dan melakukan berbagai kunjungan. Hal ini akan membantumu menjadi
lebih teratur.]
AKU TIDAK peduli apapun
katamu, 18.000 poundsterling merupakan uang yang sangat banyak. Pemerintah
Inggris telah memberikan instruksi kepadaku untuk membayarkannya kepada sang
pria yang duduk di meja pojok dan sekarang tengah melakukan ritual pembunuhan
terhadap pasta krim dengan menggunakan pisau dan garpu.
Jay, demikian
Pemerintah menyebut nama pria ini. Matanya kecil seperti babi, kumisnya lebar, dan
memakai sepatu buatan tangan yang aku tahu berukuran sepuluh. Dia berjalan
sedikit terpincang-pincang dan memiliki kebiasaan menekan alisnya dengan ibu
jari. Aku mengenali dia seperti aku mengenali orang lainnya karena aku telah
melihat film tentang dia di bioskop mini pribadi di Jalan Charlotte, setiap
hari sebulan.
Tepat sebulan sebelumnya
aku tidak pernah tahu siapa itu Jay. Tiga minggu masa pemutusan kontrak kerjaku
telah usai. Aku telah menggunakannya sedikit atau tidak sama sekali kecuali kau
telah bersiap mempertimbangkan untuk meringkasnya dengan bantuan koleksi buku
sejarah militer milikku tentang pekerjaan yang cocok bagi pria dewasa. Tidak
banyak temanku yang sesiap itu.
Aku bangun dan berkata
kepada diriku sendiri “Sekarang Saatnya” tetapi aku seperti tidak ingin bangun
tidur dengan semangat yang sama. Aku dapat mendengar suara hujan bahkan sebelum
membuka korden. Bulan Desember di London, pohon yang tertutup jelaga di luar
rumah mencambuki dirinya sendiri sehingga menimbulkan kegaduhan yang luar
biasa. Aku cepat-cepat menutup korden, menari melintasi lantai yang sedingin
es, membaca cepat koran pagi, dan duduk menunggu teko mendidih. Aku berjuang
keras memakai satu-satunya dasi wolku yang gelap – sutra biru dan merah dengan
desain persegi – tapi harus menunggu kedatangan taksi dalam empat puluh menit. Para
sopir taksi sangat tidak suka datang ke selatan Thames, kau tahu itu.
Sungguh hal yang
membuatku kurang nyaman saat mengatakan “kantor perang” kepada para sopir
taksi; di satu waktu aku harus mengatakan kepada mereka supaya berhenti di
salah satu bar di Whitehall, atau berkata “akan kuberitahu saat harus berhenti”
hanya untuk menghindari aku supaya tidak berkata “kantor perang”. Ketika aku
keluar dari taksi, sopirnya telah memberhentikan aku di depan pintu masuk
Whitehall Place dan aku harus berjalan melintasi beberapa blok menuju pintu
masuk Horseguards Avenue. Kendaraan Sang Juara diparkir di sana, pengemudi
berleher merah berkata “ambil itu satu” pada si kopral baik hati bercelana
jengki. Prajurit berusia sama kurasa. Lorong panjang mirip WC itu tampak gelap
dan kotor, dan kartu-kartu putih kecil dengan tulisan militer yang presisi
tertempel di setiap pintu bercat hijau: GS3, Mayor ini, Kolonel itu, Para Tuan
yang terhormat, dan ruangan minum teh tanpa nama yang aneh di mana sekumpulan
wanita tua berkacamata yang ceria bermunculan saat tidak mempraktekkan alkemi
di dalamnya. Ruangan 134 mirip seperti yang lainnya; empat lemari arsip warna
hijau standar, dua lemari logam hijau, dua meja disusun bersama saling
berhadapan dengan jendela, dua kilogram gula pasir Tate dan Lyle dalam karung
di ambang jendela.
Ross, orang yang harus
kutemui, mendongak dari tulisan yang sudah menarik perhatiannya sejak tiga
detik setelah aku memasuki ruangan. Ross berkata, “Jadi sekarang,” dan
batuk-batuk dengan gugup. Ross dan aku telah membuat kesepakatan yang
berlangsung selama beberapa tahun ini – kami saling membenci satu sama lain. Menjadi
orang Inggris, hubungan yang pedas ini berkembang dengan sendirinya menjadi
kesopanan oriental.
“Duduklah. Jadi
sekarang. Rokok?” Sudah kukatakan kepadanya “Tidak, terima kasih” selama dua
tahun paling tidak dua kali seminggu. Kotak rokok tatahan murahan (dari pasar
loak Singapura) dengan serpihan kayu kupu-kupu, melayang melintasi wajahku.
Ross adalah pegawai
biasa; itu berarti dia tidak minum gin setelah pukul setengah delapan malam
atau memukul wanita tanpa melepas topinya terlebih dahulu. Hidung Ross pesek
panjang, kumis laksana pajangan dinding, rambut pendek yang tersisir rapi, dan kulit
warna roti tawar Hovis.
Telepon warna hitam
berdering. “Ya? Oh kamu, Sayang.” Ross mengucapkan setiap kata tanpa sama
sekali menaruh perbedaan pada intonasi suara. Sejujurnya aku ingin langsung
pergi karena orang ini kampret betulan.