Aku duduk
bersandar di kursiku sambil menghadap jendela lantai dua rumahku yang terbuka
pukul delapan malam itu. Angin malam yang dingin tidak menghalangiku untuk
mengamati rumah para tetanggaku di kompleks perumahan pinggiran kota yang lumayan
ramai. Aku bersyukur tidak hujan karena kalau hal itu terjadi, aku tidak bisa
memuaskan rasa penasaranku terhadap para tetanggaku. Kenapa aku tertarik pada
mereka semua? Jangan bertanya begitu kepadaku.
Istriku Linda melangkah mendekatiku, lalu memegang pundakku. “Siapa yang kamu amati
sekarang?” tanyanya begitu halus dan lembut layaknya sutra.
“Tuan dan Nyonya
Morton di tenggara. Mereka berdua musisi. Tuan Morton seorang pianis, sementara
Nyonya Morton bernyanyi. Mereka baru pindah kemari dua minggu yang lalu.”
“Dari sini
memang kelihatan jelas.” Linda mendehem sambil mengambil kursi dan duduk di
sampingku. “Boleh kutemani?”
“Memang
seharusnya begitu.”
“Apa Louis sudah
menelponmu tadi sore?”
“Sudah. Dia
bilang tidak perlu khawatir. Pekerjaan baru sudah menungguku minggu depan.”
“Bagus sekali,
lalu sekarang kamu menghabiskan waktumu dengan mengamati para tetangga tanpa
pernah puas sama sekali?”
“Aku menyukai
para tetanggaku.”
“Aku tidak
mengerti maksud kamu, John.”
“Sudah kubilang
kalau kau harus memanggilku Jeff.”
“Nama kamu
Jonathan Jeffries. Dari nama kamu itu, aku boleh saja memanggilnya sesukaku.
John lebih nyaman bagi lidahku daripada Jeff.”
Denting piano
dari Tuan Morton menghentikan percakapan kami, setelah itu kami makin terbius
mengamati setelah Nyonya Morton mulai bernyanyi dengan suara oktafnya yang
tinggi sekali.
“Semoga kaca
jendela kita tidak pecah.” kata Linda sambil merangkulku.
“Tidak mungkin.
Nyonya Morton bukan Bianca Castafiore.”
Linda tertawa
sambil mempererat rangkulannya kepadaku.
No comments:
Post a Comment