Hari Minggu tanggal 24 Oktober 2021 tepat pukul 20.21 WIB, Om Kaftan Karamba menelponku. Om Kaftan ini adalah sahabat baik almarhum ayah dan almarhumah ibuku karena ketiganya satu kelas sewaktu kuliah di Sorbonne dulu.
“Apa kabarmu,
Werku? Masih ingat sama Om?”
“Kabar baik, Om
Kaftan.”
“Werku, aku
minta tolong.”
“Tentu, Om.”
“Datanglah
kemari, ke rumahku. Masih ingat rumahku?”
“Masih, Om.”
“Ajak Wulan
bersamamu.”
“Tentu, Om.”
Lalu kudengar suara teriakan panjang penuh kesakitan dan sambungan terputus. Aku menatap ponsel pintar milikku karena tidak mempercayai apa yang terjadi. Terdengar dengungan pendek, satu pesan Whatsapp masuk, memperlihatkan sebuah gambar warna hitam dengan tulisan kapital tepat di tengah-tengah.
“HANTU
HUTAN”
Aku tidak tahu
apa yang harus kulakukan sekarang. Ini rumit sekali menurutku. Terus terang aku
sudah agak mengantuk, tapi demi Om Kaftan, tampaknya akan kuberanikan diriku
menyetir. Modal nekat ini namanya.
“Siapa yang
telepon, Kangmas?” suara merdu itu membuatku terhenyak. Suara istriku selama
delapan tahun ini tentunya.
“Om Kaftan
meminta kita ke rumahnya sekarang ini juga.”
“Tidak masalah
sebenarnya. Kangmas tahu rumahnya tidak?”
Aku menggeleng
pelan. Om Kaftan terakhir tinggal di Cibubur lima tahun lalu, tapi sekarang
sudah pindah entah ke mana.
“Kalau begitu
tunda dulu saja. Bagaimana kalau besok pagi?”
“Rasanya aneh.
Ini pertama kali kita tidak langsung mengiyakan permintaan Om Kaftan.”
“Di tengah
pandemi Covid-19 seperti ini, situasi memang sangat rumit, Kangmas.”
“Diajeng, tadi
aku mendengar suara jeritan Om Kaftan. Aku takut terjadi apa-apa.” Aku
memperlihatkan pesan whatsapp pada istriku yang memekik tertahan.
“Kangmas, ini
gawat. Kita … harus ke sana sekarang. Kalau Kangmas mengantuk, biar aku saja
yang menyetir.”
“Kita pakai
mobil yang mana ke sana?”
“Pakai Honda
Jazz yang lama saja, Kangmas. Alamatnya di mana ini Om Kaftan? Coba Kangmas
telusuri lewat whatsapp kayaknya bisa dapat alamatnya.”
“Yang jelas
bukan Cibubur.” kataku menelusuri data dalam whatsapp, berusaha mencari
keterangan melalui postingan terakhir yang aku terima. Aku kaget mengetahui
bahwa Om Kaftan ternyata menelpon dari tempat yang dekat dari rumahku ini.
“Om Kaftan saat
ini berada di Hotel Micronium seberang Slipi Jaya. Kita tinggal berjalan kaki
saja ke sana, Diajeng.”
“Sedang apa Om
Kaftan di sana, Kangmas?”
“Kuharap aku
tahu.”
“Kangmas, kita
lewat jembatan penyeberangan atau langsung menyeberang saja?”
“Lewat koridor
Trans Jakarta saja.”
Istriku tertawa
sambil memelukku. “Mari kita berganti baju dulu.”
No comments:
Post a Comment